Minggu, 19 April 2015

Ziarah Kubur antara Tauhid dan Syirik

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak)
Di antara sunnah Rasulullah n adalah ziarah kubur. Rasulullah n bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ
“Dulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah kalian ke kuburan karena itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. Muslim dari Buraidah bin Hushaib z)
Dalam riwayat Abu Dawud:
وَلْتَزِدْكُمْ زِيَارَتُهَا خَيْرًا
“Ziarah kubur akan menambah kebaikan bagi kalian.”
Ziarah kubur adalah salah satu ibadah yang harus dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah n supaya diterima oleh Allah l. Oleh karena itu, seseorang yang ingin menjaga agamanya, hendaknya mempelajari agamanya termasuk dalam masalah ziarah kubur, karena sekarang ini banyak orang yang terjatuh dalam penyimpangan ketika melaksanakan ziarah kubur.
Tujuan Ziarah Kubur
Tujuan ziarah kubur ada dua hal.
1. Orang yang berziarah mendapatkan manfaat dengan mengingat mati dan orang yang telah mati. Dia akan mengingat bahwa tempat kembalinya bisa surga atau neraka. Ini adalah tujuan utama ziarah kubur.
2. Berbuat baik kepada orang yang telah meninggal dengan mendoakan dan memintakan ampun untuk mereka. Manfaat ini hanya didapat ketika berziarah ke kuburan muslim. (Ahkamul Jana’iz, hlm. 239)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t berkata, “Ketahuilah—semoga Allah l memberikan taufik kepada saya dan Anda semua—bahwa ziarah kubur ada tiga macam.
1. Ziarah yang syar’i
Ini yang disyariatkan dalam Islam. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar ziarah menjadi syar’i.
a. Tidak melakukan safar dalam rangka ziarah
Dari Abu Sa’id al-Khudri z, Rasulullah n bersabda:
لَا تَشُدُّوا الرِّحَالَ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Janganlah kalian bepergian jauh melakukan safar kecuali ke tiga masjid: Masjidku ini, Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsha.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah z)
b. Tidak mengucapkan ucapan batil
Dari Buraidah z, Rasulullah n bersabda:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
“Aku dulu melarang kalian ziarah kubur, (sekarang) ziarahlah kalian ke kuburan.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat an-Nasa’i dengan lafadz:
وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا
“Aku dulu melarang kalian berziarah kubur. Barang siapa yang ingin ziarah kubur silakan berziarah dan janganlah kalian mengucapkan hujran.”
Hujran adalah ucapan keji.
Lihatlah, semoga Allah l merahmati Anda, Rasulullah n melarang kita mengucapkan ucapan keji dan batil ketika ziarah kubur. Ucapan apa yang lebih keji dan lebih batil daripada meminta/berdoa kepada mayit dan meminta perlindungan kepada mereka?
c. Tidak mengkhususkan waktu tertentu karena tidak ada dalilnya
2. Ziarah bid’ah
Ziarah bid’ah adalah ziarah yang tidak memenuhi salah satu syarat di atas atau lebih.
3. Ziarah syirik
Pelaku ziarah ini terjatuh ke dalam perbuatan kesyirikan kepada Allah l, seperti berdoa kepada selain Allah l, menyembelih dengan nama selain Allah l, atau bernadzar untuk selain Allah l, dan sebagainya. (Dinukil dari al-Qaulul Mufid hlm. 192—194 dengan sedikit perubahan)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Ziarah kubur ada dua macam, syar’i dan bid’ah. Ziarah menjadi syar’i jika dilakukan dengan niat untuk memberi salam kepada si mayit dan mendoakan kebaikan untuknya, sebagaimana yang diniatkan ketika menshalatkan jenazahnya. Akan tetapi, ziarah ini tidak boleh dilakukan dengan safar (bepergian jauh). Ziarah bid’ah adalah jika orang yang melakukannya bertujuan meminta kebutuhannya kepada si mayit. Ini adalah syirik besar. Atau, dia berniat untuk berdoa di sisi kuburnya atau bertawasul dengannya. Semua perbuatan ini adalah bid’ah yang mungkar dan sarana yang mengantarkan kepada kesyirikan. Amalan ini bukanlah sunnah Rasulullah n. Di samping itu, tidak pernah dianjurkan oleh seorang pun dari kalangan salaf umat ini atau para imamnya.” (Lihat Taudhihul Ahkam 3/258)
Perbedaan Ziarah Kubur Orang Bertauhid dan Orang Musyrik
Ibnul Qayyim t menerangkan perbedaan ziarah kubur muwahid (orang yang bertauhid) dan musyrik.
Seorang muwahid melakukan ziarah kubur untuk tiga hal sebagai berikut.
1. Mengingat akhirat, mengambil ibrah dan nasihat.
Nabi n telah mengisyaratkan hal ini dengan sabdanya:
فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ
“Berziarahlah kalian ke kuburan karena itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat.”
2. Berbuat baik kepada mayit
Ini terwujud dengan dia mendoakan dan memintakan ampunan serta rahmat bagi penghuni kubur.
3. Berbuat baik kepada diri sendiri
Dengan melakukan ziarah kubur, dia telah menjalankan dan mengamalkan sunnah Rasulullah n.
Adapun ziarah kubur yang dilakukan seorang musyrik, asalnya adalah peribadatan kepada berhala (dengan mengharapkan syafaat dari penghuni kubur sebagaimana orang-orang musyrik terdahulu mengharapkan syafaat dari sesembahan mereka). (Disadur dari Ighatsatul Lahafan hlm. 288—290)
Beberapa Penyimpangan yang Terjadi dalam Ziarah Kubur
Syaikhul Islam t menjelaskan bahwa pokok kesyirikan bermuara pada dua hal. Salah satunya adalah mengagung-agungkan kuburan orang saleh.
Beliau t berkata, “Kesyirikan bani Adam seringkali bersumber dari dua hal pokok. Yang pertama adalah mengagungkan kubur orang saleh dan membuat patung atau gambar mereka dengan tujuan mencari berkah ….” (Majmu’ al-Fatawa, 17/460)
Di antara penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan ziarah kubur adalah sebagai berikut.
1. Meminta kepada penghuni kubur, bertawasul dengan penghuninya
Rasulullah n bersabda:
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا
“Barang siapa yang ingin berziarah kubur silakan berziarah namun janganlah berkata hujran.” (HR. Abu Dawud)
Al-Imam Nawawi t berkata, “Al-Hujra adalah ucapan batil. Dahulu mereka dilarang berziarah kubur karena mereka baru meninggalkan masa jahiliah. Dikhawatirkan mereka akan mengucapkan ucapan-ucapan jahiliah ketika berziarah kubur. Ketika fondasi Islam telah mantap, hukum-hukumnya telah kokoh, dan rambu-rambunya telah tampak, mereka pun dibolehkan berziarah kubur. Namun, Rasulullah n masih menjaga mereka dengan sabdanya, ‘Janganlah kalian mengucapkan hujran’.”
Asy-Syaikh al-Albani t berkata, “Tidak diragukan lagi bahwasanya berdoa kepada penghuni kubur—yang dilakukan orang-orang awam dan selain mereka ketika ziarah kubur—, meminta tolong kepada mereka, serta meminta kepada Allah l dengan hak penghuni kubur (tawasul) adalah ucapan dan perbuatan hujran yang paling besar. Para ulama wajib menjelaskan hukum Allah l dan menerangkan ziarah kubur yang benar kepada mereka.” (Ahkamul Janaiz, hlm. 227—228)
2. Mengkhususkan waktu tertentu
Banyak fatwa para ulama tentang tidak bolehnya mengkhususkan ied (hari raya) atau bulan Ramadhan untuk berziarah kubur. Ada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t, “Apa hukum mengkhususkan hari raya dan hari Jum’at untuk berziarah kubur?”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t menjawab, “Pengkhususan hari Jum’at dan ied untuk berziarah kubur tidak ada asalnya di dalam sunnah. Pengkhususan ziarah kubur pada hari ied dan keyakinan bahwa hal itu disyariatkan, teranggap sebagai perbuatan bid’ah….” (kutipan dari Fatawa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin 17/286 pertanyaan no. 259)
Ditanyakan pula kepada Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t, “Apa hukum mengkhususkan hari Jum’at untuk berziarah kubur?”
Beliau t menjawab, “Hal tersebut tidak ada asalnya dalam syariat. Yang disyariatkan adalah berziarah kubur kapan pun waktunya yang mudah bagi yang mau berziarah, baik malam maupun siang hari.”
Pengkhususan pagi atau malam tertentu (untuk berziarah) adalah perbuatan bid’ah yang tidak ada asalnya dalam syariat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah n:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami yang bukan darinya maka tertolak.”1
Dalam riwayat Muslim:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengamalkan satu amalan yang tidak ada padanya ajaran kami maka tertolak.” (HR. Muslim dari Aisyah x)
(Fatawa asy-Syaikh Ibnu Baz, 13/336)
3. Membaca Al-Qur’an
Asy-Syaikh al-Albani berkata, “Membaca Al-Qur’an ketika ziarah kubur tidak ada dasarnya (contohnya) dalam sunnah Rasulullah n.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata dalam kitabnya Iqtidha Shirathil Mustaqim, “Tidak ada ucapan al-Imam asy-Syafi’i dalam masalah ini, karena amalan ini adalah bid’ah menurut beliau. Al-Imam Malik t berkata, ‘Aku tidak pernah tahu ada seorang pun melakukannya.’ Ini menunjukkan bahwa para sahabat dan tabi’in tidak melakukannya.” (Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 241—242)
4. Menabur bunga
Asy-Syaikh al-Albani berkata, “Tidak disyariatkan meletakkan daun wewangian dan bunga-bungaan di atas kuburan, karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh salaf. Seandainya itu adalah baik, niscaya mereka melakukannya. Ibnu Umar z berkata, ‘Semua bid’ah adalah sesat, walaupun orang-orang menganggapnya baik’.” (Ahkamul Janaiz, hlm. 258)
5. Syaddu rihal (melakukan safar)
Rasulullah n pernah berkata,
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ، الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ n وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Tidak boleh melakukan bepergian jauh (demi ibadah di tempat tersebut dengan anggapan mulianya tempat tersebut) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidir Rasul, dan Masjidil Aqsha.” (HR. al-Bukhari)
Asy-Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani menganggap safar untuk berziarah ke kuburan nabi atau orang saleh sebagai bid’ah. (Ahkamul Janaiz hlm. 229)
6. Membaca Surah Yasin di Kuburan
Asy-Syaikh al-Albani menyebutkan bahwa membacakan surah Yasin di kuburan termasuk salah satu bid’ah ziarah kubur. (Ahkamul Janaiz hlm. 225)
Adapun hadits, “Barang siapa yang masuk pekuburan dan membaca surat Yasin, Allah l akan meringankan mereka dan mereka mendapatkan kebaikan sebanyak yang terdapat dalam surat tersebut,” asy-Syaikh al-Albani memasukkanya dalam Silsilah adh-Dha’ifah (no. 1246).
7. Ikhtilath (campur-baur lelaki dan wanita yang bukan mahram)
Ini adalah sesuatu yang tidak bisa diingkari adanya, padahal Rasulullah n bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan fitnah (godaan) bagi laki-laki yang lebih berbahaya daripada wanita.” (HR. Muslim)
8. Tabaruj wanita
Allah l berfirman:
“Dan hendaklah kalian (wahai para wanita) tetap tinggal di rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33)
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam t berkata, “Jika ikhtilath dan tabaruj berkumpul maka yang menyertainya adalah zina.” (Tahdzirus Shalihin minal Ghuluw fi Quburis Shalihin hlm. 46)
9. Seringnya wanita berziarah kubur
Seorang wanita dibolehkan berziarah kubur, namun tidak boleh sering-sering melakukannya. Alasan yang menunjukkan mereka boleh berziarah kubur adalah sebagai berikut.
1. Keumuman sabda Rasulullah n
2. Mereka juga butuh mengingat akhirat
3. Nabi n memberikan rukhsah (keringanan) sebagaimana dalam hadits Aisyah x
4. Nabi n membiarkan seorang wanita yang sedang berada di kuburan
Adapun dalil yang menunjukkan mereka tidak boleh sering berziarah kubur adalah sabda Rasulullah n:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ n زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ
“Rasulullah n melaknat (dalam lafadz lain: Allah l melaknat) wanita yang sering berziarah kubur.” (HR. Ahmad)
10. Wanita melakukan safar tanpa mahram
Seorang wanita tidak diperbolehkan melakukan safar sendirian walaupun untuk melaksanakan ibadah. Dari Ibnu Abbas z, Rasulullah n berkata dalam khutbahnya:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ. فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً وَإِنِّي اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ
“Janganlah seorang lelaki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali bersama mahramnya, dan janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya.” Seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku hendak pergi menunaikan haji, padahal aku telah ditulis hendak berangkat perang ini dan itu.” Rasulullah n bersabda, “Berangkatlah haji bersama istrimu.”2 (Muttafaqun ‘alaih)
11. Meninggalkan shalat (lihat Tahdzir Muslimin)
12. Bertaubat kepada ahli kubur
13. Haji ke kuburan
14. Meminta izin kepada penghuni kubur
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam menerangkan, di antara praktik para dai kuburi yang mendorong umat mengagungkan kuburan adalah mengikat pengikut mereka dengan kuburan melalui cara:
1. Bertaubat kepada penghuni kubur
2. Haji ke kuburan
3. Meminta izin kepada penghuni kubur ketika hendak melakukan satu amalan.
(Tahdzirul Muslimin hlm. 43)
Mengagungkan Kubur adalah Muslihat Setan
Ibnul Qayim t berkata, “Di antara tipudaya setan yang paling besar adalah memilihkan kuburan yang diagungkan manusia dan menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah l.” (Ighatsatul Lahafan hlm. 279)
Kemungkaran di Kuburan
Ibnu Taimiyah t menerangkan bahwa perbuatan bid’ah di kuburan itu bertingkat-tingkat. Yang paling jauh dari syariat adalah meminta kebutuhan dan perlindungan kepada mayit, sebagaimana dilakukan banyak orang.
Tingkatan kedua adalah meminta kepada Allah l melalui penghuni kubur (tawasul dengan mayit). Ini sering dilakukan oleh orang-orang belakangan. Amalan tersebut adalah bid’ah menurut kesepakatan kaum muslimin
Tingkatan ketiga adalah sangkaan bahwa berdoa di sisi kubur itu mustajab atau lebih afdhal daripada di masjid. Ini juga kemungkaran yang bid’ah menurut kesepakatan muslimin. (Diringkas dari Ighatsatul Lahafan hlm. 287)
Sebab Terjadinya Penyembahan Kubur
Jika ditanyakan: Apa yang menyebabkan para penyembah kubur terjatuh dalam perbuatan mereka, padahal mereka tahu bahwa penghuninya adalah orang mati?
Jawabannya ada beberapa hal.
1. Mereka tidak mengetahui hakikat syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad n dan seluruh rasul.
2. Hadits-hadits palsu yang diatasnamakan Rasulullah n, seperti hadits, “Barang siapa yang tertimpa kesulitan hendaknya dia meminta kepada penghuni kubur.”
3. Cerita dan kisah dusta yang dipromosikan untuk menarik orang datang ke kuburan tertentu. Misalnya, ada seseorang beristighatsah kepada kubur tertentu ketika tertimpa kesusahan, lalu dia pun mendapat jalan keluar. Demikian pula cerita-cerita dusta lainnya. (Lihat
Ighatsatul Lahafan karya Ibnul Qayim)
Hati-hati dari Tipu Muslihat Penyeru Peribadatan kepada Kuburan
Di antara sebab terjadinya penyimpangan dalam ziarah kubur adalah ajaran yang didapatkan oleh sebagian orang dari para dai yang mengajak mengagungkan kuburan.
Secara global penyeru kepada kesesatan dalam masalah kubur ada dua, dari kalangan jin dan dari kalangan manusia. Yang dari kalangan manusia ada dua kelompok:
1. Kelompok dari dalam umat Islam
• Tukang sihir
• Dukun
• Ahli nujum
• Ahlul bid’ah dari kalangan kuburiyun
2. Kelompok dari luar umat, yaitu orang-orang kafir Yahudi, Majusi, Nasrani, Hindu, dan lainnya.
(Diringkas dari Tahdzirul Muslimin hlm. 20—22)
Dengan Apa Kita Melawan Kesyirikan?
Bahaya syirik yang terus mengancam mengharuskan kita menjaga diri dan melakukan perlawanan terhadap kesyirikan. Lantas, apa yang harus dilakukan?
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam t menerangkan, “Yang paling wajib dilakukan oleh seorang muslim dan muslimah adalah menjauhkan diri dari kesyirikan dan faktor pendorong kepada kesyirikan. Hal ini tidak akan tercapai melainkan dengan menempuh beberapa hal berikut: mempelajari tauhid, menjauhi syirik, mengenal dai tauhid, membaca kitab-kitab yang bermanfaat (Diringkas dari Tahdzirul Muslimin hlm. 72—73)
Semoga Allah l memberikan kekuatan dan hidayah kepada kita dalam menjauhkan diri dan memerangi berbagai kesyirikan serta kemaksiatan. Amin.
Catatan Kaki:
1 HR. al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718.
2 Dalam riwayat lain:
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ عَلَيْهَا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan satu hari satu malam kecuali bersama mahramnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh Ahmad Syakir berkata, “Hadits ini adalah salah satu pokok Islam yang agung dalam menjaga dan memelihara wanita dari ancaman yang akan merusak akhlaknya dan mencacati kehormatannya, karena wanita itu lemah, mudah terpengaruh. Akalnya (mudah) dipermainkan sehingga terkalahkan oleh syahwatnya.” (Musnad Ahmad ta’liq hadits no. 4615)
Siapakah mahram yang boleh menemani wanita dalam safar?
Al-Imam an-Nawawi t berkata dalam Syarh Shahih Muslim (9/112—113), “Seorang wanita boleh bepergian safar bersama mahramnya dari nasab seperti anak, saudara laki-laki, anak laki-laki (keponakan) dari saudaranya yang laki-laki, anak laki-laki (keponakan) dari saudaranya yang perempuan, paman dari bapak, dan paman dari ibu. Atau, bersama mahramnya karena susuan seperti saudara susu laki-laki, anak lelaki dari saudara sesusuan yang pria, anak lelaki dari saudara sesusuan yang wanita, dan semisalnya. Atau bersama mahram dari perkawinan seperti ayah suaminya (mertua) dan anak lelaki suaminya (anak tiri).

APAKAH ALLAH MEMBUTUHKAN PERANTARA?

At Tauhid edisi III/11
Oleh : Ari Wahyudi
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Berdoalah kepada-Ku, pasti akan Aku kabulkan”(QS. Al-Mu’min : 60). Setiap hamba pasti membutuhkan sesuatu yang menopang kehidupannya, sehingga dia akan berusaha untuk meraihnya. Ketika mereka tertimpa bencana, mereka pun bersimpuh dan memohon kepada Allah Ta’ala agar dilepaskan dari marabahaya. Namun sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin justru terjerumus ke dalam praktek-praktek kesyirikan tanpa mereka sadari karena berdo’a untuk menggapai keinginan mereka itu.
Niat Baik Kaum Musyrikin
Dalam berdoa kepada Allah, kita tidak perlu melalui perantara, karena hal itu termasuk perbuatan syirik. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan mereka (kaum musyrikin) beribadah kepada selain Allah sesuatu yang tidak sanggup mendatangkan madharat dan manfaat untuk mereka. Dan mereka beralasan, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah'” (QS. Yunus : 18). Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong mengatakan, ‘Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka, melainkan hanya supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’ ” (QS. Az-Zumar : 3).
Dalam dua ayat ini Allah menjelaskan kepada kita tentang alasan yang diajukan oleh kaum musyrikin untuk mendukung kesyirikan mereka. Mereka berkata bahwa mereka memiliki niat yang baik. Mereka hanya ingin menjadikan orang-orang shalih yang sudah meninggal sebagai perantara doa mereka kepada Allah. Mereka menganggap bahwa diri mereka penuh dengan dosa, sehingga tidak pantas untuk langsung berdoa kepada Allah. Sedangkan orang-orang shalih memiliki keutamaan di sisi Allah. Mereka ingin agar semakin dekat dengan Allah dengan perantaraan orang-orang shalih itu. Tidak ada yang mencela niat baik ini. Akan tetapi, lihatlah cara yang mereka tempuh. Mereka meminta syafaat kepada orang-orang yang sudah meninggal. Padahal Allah Ta’ala sudah menegaskan yang artinya, “Katakanlah, ‘Semua syafaat itu pada hakikatnya adalah milik Allah’ “ (QS. Az-Zumar : 44). Dan meminta kepada orang yang sudah meninggal adalah termasuk perbuatan syirik akbar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Oleh karena itu, niat baik kaum musyrikin ini tidak bermanfaat sama sekali karena cara yang mereka tempuh adalah kesyirikan, perbuatan yang merupakan penghinaan kepada AllahTa’ala.
Kami ‘kan bukan orang musyrik”
Kalau ayat-ayat di atas kita sampaikan kepada para penyembah kubur para wali pada masa kini, tentulah mereka akan mengingkari sikap kita dengan keras. Bisa jadi mereka akan mengatakan, “Ayat-ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang musyrik yang memuja patung. Sedangkan kami ini bukanlah pemuja patung. Kami sekedar menjadikan orang-orang shalih yang sudah wafat itu sebagai perantara. Lantas bagaimana kalian ini kok menilai orang shalih sama halnya dengan patung?!” Maka seorang muslim yang benar-benar memahami tauhid tentu akan bisa menanggulangi syubhat (kerancuan pemahaman) mereka ini.
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa Allah telah menceritakan bahwa kaum musyrikin itu sendiri ternyata memiliki sesembahan yang beraneka ragam, tidak hanya patung. Ada juga di antara mereka yang menyembah wali, orang-orang shalih, bahkan para malaikat. Meskipun demikian, Allah tetap menyamakan hukum atas mereka dan tidak membeda-bedakannya. Maksudnya, mereka sama-sama kafir. Allah berfirman yang artinya, “Pada hari mereka semua dikumpulkan, kemudian para malaikat ditanya, ‘Apakah semasa hidup di dunia mereka beribadah kepada kalian? ‘Malaikat menjawab, ‘Maha Suci Engkau, Engkau lah penolong kami. Sebenarnya mereka itu telah beribadah kepada jin. Kebanyakan mereka beriman kepada jin.’ ” (QS. Saba': 40-41). Ayat ini menunjukkan bahwasannya di antara kaum musyrikin itu ada yang menyembah malaikat. Akan tetapi, para malaikat berlepas diri dari perbuatan mereka itu pada hari kiamat. Para malaikat mengatakan bahwa mereka tidak memerintahkan kaum musyrikin untuk melakukan hal itu, dan mereka pun tidak senang terhadapnya. Padahal kita telah mengetahui bersama bahwa para malaikat itu adalah termasuk makhluk yang paling shalih. Demikian pula halnya dengan peribadatan yang ditujukan kepada para Nabi dan para wali, semuanya tetap disebut sebagai kesyirikan. Karena ibadah adalah hak Allah semata, tidak boleh dibagi-bagi kepada selain-Nya. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah, namun diiringi dengan beribadah kepada selain-Nya, maka dia telah berbuat syirik dan keluar dari Islam (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan).
Apakah Kalian Mengingkari Syafaat ?
Dengan keterangan di atas, mungkin ada orang yang bertanya kepada kita, “Apakah kalian mengingkari syafaat? Yang saya lakukan ini bukanlah meminta kepada selain Allah. Akan tetapi saya hanya mencari syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukankah pada hari kiamat nanti beliau akan memberikan syafaat ?!” Maka kita jawab pertanyaan mereka bahwa kita sama sekali tidak mengingkari syafaat. Syafaat Nabi itu benar adanya. Akan tetapi, syafaat itu tidak boleh diminta kepada Nabi yang telah wafat. Syafaat itu hanya boleh diminta kepada Allah, karena syafaat itu memang hak-Nya. AllahTa’ala menegaskan yang artinya, “Katakanlah, ‘Semua syafaat itu pada hakikatnya adalah milik Allah’ “ (QS. Az-Zumar : 44). Nabi tidaklah menguasai pemberian syafaat. Dan syafaat juga tidak bisa memberikan manfaat untuk setiap orang. Syafaat hanya akan bermanfaat bagi orang-orang yang bertauhid. Terdapat dua syarat agar syafaat diterima. Pertama, diminta kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Kedua, orang yang diberi syafaat termasuk orang yang bertauhid (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan).
Tawassul, yang Terlarang dan yang Dibolehkan
Tawassul atau mengambil perantara dalam beribadah kepada Allah dalam bentuk berdoa kepada orang yang sudah meninggal atau tidak hadir adalah bentuk kesyirikan. Namun, ada pula tawassul yang diperbolehkan, yaitu: (1) Menyebut nama-nama atau sifat-sifat Allah pada permulaan berdoa (dengan menyesuaikannya dengan permintaan yang dimohon, -ed) seperti mengatakan,”Yaa Ghafuur, ighfirlii” (“Wahai Yang Maha pengampun, ampunilah hamba”); (2) Meminta kepada orang shalih yang masih hidup dan bisa memahami permintaan agar mendoaakan kebaikan baginya, sebagaimana Khalifah Umar yang meminta tolong paman Nabi Al-‘Abbas untuk berdo’a bagi kaum muslimin; (3) Menyebutkan amal shalih yang pernah dilakukannya sebagaimana kisah 3 orang yang terperangkap di dalam gua.
Faedah
Nah, dengan pemaparan yang amat ringkas ini kita dapat memahami bahwa sebenarnya aqidah Islam yang diwariskan oleh Rasul dan para sahabat adalah aqidah yang sangat mulia. Islam menghendaki agar kita hanya bergantung kepada Allah Ta’ala. Islam menghendaki agar kita memahami hakikat sesuatu sebelum mengikuti ataupun menolaknya. Islam menghendaki agar kita berpikir dan tidak terjebak dalam kebekuan berpikir (kejumudan). Allah tidak membutuhkan siapa pun sebagai perantara (wasilah)dalam hal ibadah. Di sisi lain, Allah juga mengangkat Rasul sebagai perantara (wasilah) untuk menyampaikan tata cara beribadah yang benar kepada-Nya. Barangsiapa yang mengingkari wasilah yang pertama, maka dia adalah seorang mukmin. Dan barangsiapa yang mengingkari wasilah yang kedua, maka dia kafir. Wallahu a’lam bish-shawaab. [Ari Wahyudi]

RIYA’ PENGHAPUS AMAL

Syarat paling utama suatu amalan diterima di sisi Allah adalah ikhlas. Tanpanya, amalan seseorang akan sia-sia belaka. Syaitan tidak henti-hentinya memalingkan manusia, menjauhkan mereka dari keikhlasan. Salah satunya adalah melalui pintu riya’ yang banyak tidak disadari setiap hamba.
Yang dimaksud riya’ adalah seseorang melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya. Termasuk dalam definisi riya’ adalah sum’ah, yakni melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang dilakukan, sehingga pujian dan ketenaran pun datang. Riya’ dan semua derivatnya merupakan perbuatan dosa dan merupakan sifat orang-orang munafik.
Hukum Riya’
Riya’ ada dua jenis. Jenis yang pertama hukumnya syirik akbar. Hal ini terjadi jika seseorang melakukan seluruh amalnya agar dilihat manusia, dan tidak sedikit pun mengharap wajah Allah. Inilah riya’ yang dimiliki oleh orang-orang munafik. Allah berfirman tentang keadaan mereka (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka . Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisaa’ : 142). Dengan kata lain, riya’ yang tergolong syirik akbar adalah masuk Islam karena motivasi riya’.
Adapun yang kedua adalah riya’ yang terkadang menimpa orang yang beriman. Sikap riya’ ini terkadang muncul dalam sebagian amal. Seseorang beramal karena Allah dan juga diniatkan untuk selain Allah. Riya’ jenis seperti ini merupakan perbuatan syirik ashghar. (lihat I’aanatul Mustafiid, Syaikh Shalih Fauzan)
Jadi, hukum asal riya’ yang ada pada orang beriman adalah syirik ashghar (syirik kecil). Namun, riya’ bisa berubah hukumnya menjadi syirik akbar (syirik besar) dalam tiga keadaan berikut :
1. Jika seseorang riya’ kepada manusia dalam pokok keimanan. Misalnya seseorang yang menampakkan dirinya di hadapan manusia bahwa dia seorang mukmin demi menjaga harta dan darahnya.
2. Jika riya’ dan sum’ah mendominasi dalam seluruh jenis amalan seseorang.
3. Jika seseorang dalam seluruh amalannya lebih dominan menginginkan tujuan dunia, dan tidak mengharapkan wajah Allah. (Al Mufiid fii Muhimmaati at Tauhid, Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi)
Ibadah yang Tercampur Riya’
Bagaimanakah status suatu amalan ibadah yang tercampu riya’? Hukum masalah ini dapat dirinci pada beberapa keadaan. Jika seseorang beribadah dengan maksud pamer di hadapan manusia, maka ibadah tersebut batal dan tidak sah. Adapun jika riya’ atau sum’ah muncul di tengah-tengah ibadah maka ada dua keadaan. Apabila amalan ibadah tersebut berhubungan antara awal dan akhirnya, misalnya ibadah shalat, maka riya’ akan membatalkan ibadah tersebut jika tidak berusaha dihilangkan dan tetap ada dalam ibadah tersebut. Jenis yang kedua adalah amalan yang tidak berhubungan antara bagian awal dan akhir, misalnya sedekah. Apabila seseorang bersedekah seratus ribu, lima puluh ribu dari yang dia sedekahkan tercampuri riya’, maka sedekah yang tercampuri riya’ tersebut batal, sedangkan sedekah lima puluh ribu yang lain tidak. (Lihat Al Mufiid fii Muhimmaati at Tauhid)
Jika Demikian Keadaan Para Sahabat, Bagaimana dengan Kita?Para sahabat adalah generasi terbaik umat ini. Keteguhan iman mereka sudah teruji, pengorbanan mereka terhadap Islam sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih mengkhawatirkan riya’ menimpa mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Sesuatu yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah perbuatan syirik ashghar. Ketika beliau ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab: ‘(contohnya) adalah riya’” (HR. Ahmad, shahih)
Dalam hadits di atas terdapat pelajaran tentang takut terjerumus dalam syirik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir kesyirikan menimpa para sahabat muhajirin dan anshor, sementara mereka adalah sebaik-baik umat. Maka bagaimana lagi dengan selain mereka? Jika yang beliau khawatirkan menimpa mereka adalah syirik ashghar yang tidak mengeluarkan dari Islam, bagaimana lagi dengan syirik akbar? Wal ‘iyadzu billah !! (lihat I’aanatul Mustafiid)
Lebih Bahaya dari Fitnah DajjalRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Maukah kuberitahukan kepadamu tentang sesuatau yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada (fitnah) Al masih Ad Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika seseorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya “(HR. Ahmad, hasan)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa riya’ termasuk syirik khafi yang samar dan tersembunyi. Hal ini karena riya’ terkait dengan niat yang merupakan amalan hati yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Tidak ada yang mengetahui niat dan maksud  seseorang kecuali Allah semata. Hadits di atas menunjukkan tentang bahaya riya’. Kekhawatiran beliau lebih besar daripada kekhawatiran terhadap ancaman fitnah Dajjal karena hanya sedikit yang dapat selamat dari bahaya riya’ ini. Fitnah Dajjal yang begitu berbahaya, hanya menimpa pada orang yang hidup pada zaman tertentu, sedangkan bahaya riya’ menimpa seluruh manusia di setiap zaman dan setiap saat. (lihat I’aanatul Mustafiid)
Berlindung dari Bahaya Riya’Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita sebuah doa untuk melindungi diri kita dari syirik besar maupun syirik kecil. Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita melalui sabdanya, ‘Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu lebih samar daripada rayapan seekor semut.’ Lalu ada orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa syirik, sementara ia lebih samar daripada rayapan seekor semut?’ Rasulullah berkata, ‘Ucapkanlah : Allāhumma inni a’uudzubika an usyrika bika wa anaa a’lam wa astaghfiruka limaa laa a’lam (‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui)” (HR. Ahmad, shahih)
Tidak Tergolong Riya’An Nawawi asy Syafi’i rahimahullah membuat suatu bab dalam kitab Riyadus Shalihin dengan judul, “Perkara yang dianggap manusia sebagai riya’ namun bukan termasuk riya’“. Beliau membawakan hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Apa pendapatmu tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian dia mendapat pujian dari manusia? Beliau menjawab, “Itu adalah kebaikan yang disegerakan bagi seorang mukmin “ (HR. Muslim).
Di antara amalan-amalan yang tidak termasuk riya’ adalah :1. Rajin beribadah ketika bersama orang shalih. Hal ini terkadang menimpa ketika seseorang berkumpul dengan orang-orang shalih sehingga lebih semangat dalam beribadah. Perbuatan ini tidak termasuk riya’.
2. Menyembunyikan dosa. Kewajiban bagi setiap muslim apabila berbuat dosa adalah menyembunyikan dan tidak menampakkan dosa tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang menampakkan perbuatan dosanya. Di antara bentuk menampakkan dosa adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Memakai pakaian yang bagus. Hal ini tidak termasuk riya’ karena termasuk keindahan yang disukai oleh Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya terdapat sifat sombong walau sebesar dzarrah (semut kecil).” Lantas ada seseorang yang berkata,“Sesungguhnya ada orang yang suka berpenampilan indah (bagus) ketika berpakaian atau ketika menggunakan alas kaki.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan. Yang dimaksud sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
4. Menampakkan syiar ajaran Islam. Sebagian syariat Islam tidak mungkin dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seperti haji, umroh, shalat jama’ah, dan shalat jum’at. Seorang hamba tidak berarti riya’ ketika menampakkan ibadah tersebut, karena di antara kewajiban dalam Islam ada yang harus ditampakkan dan diketahui manusia yang lain. Karena hal tersebut merupakan bentuk menampakkan syiar-syiar islam. (Lihat Bahjatun Nazhirin, Syaikh Salim al Hilali)
Ikhlas Memang Berat
Pembaca yang budiman, ikhlas adalah satu amalan yang sangat berat. Cobalah kita renungkan setiap amalan kita, sudahkah terbebas dari maksud duniawi? Sudahkah semuanya murni ikhlas karena Allah Ta’ala? Jangan sampai ibadah yang kita lakukan siang dan malam menjadi sia-sia tanpa pahala. Urusan niat dalam hati bukanlah hal yang mudah. Tidaklah salah jika Sufyan ats Tsauri rahimahullah mengatakan, “ Tidaklah aku berusaha untuk membenahi sesuatu yang lebih berat  daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak balik” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab). Hanya kepada Allah kita memohon taufik. Wallahu a’lam.
Penulis : Ustadz dr. Adika Mianoki
Muroja’ah : Ustadz Aris Munandar, M.Pi.
muslim.or.id

JIMAT MENURUT ISLAM

At Tauhid edisi VII/15
Oleh: Ndaru Triutomo
Bagi masyarakat Indonesia jimat bukan sesuatu yang asing. Dari rakyat kecil sampai orang kaya pun menggunakannya. Mereka gantungkan urusan mereka kepada jimat. Sebagai agama yang telah sempurna, Islam telah menerangkan kepada kita bagaimana menyikapinya.
Pengertian Jimat
Jimat adalah segala sesuatu yang diyakini menjadi sebab datangnya manfaat atau hilangnya kesulitan, namun bukan merupakan sebab yang dibolehkan oleh syari’at (baik secara syar’i atau qodari) (At-Tamhid lisyarhi Kitabi at-Tauhid karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu asy-Syaikh). Secara syar’i berarti ditunjukan oleh dalil yang benar (Al-Qur’an atau Hadits shahih) sedangkan secara qodari berarti terbukti secara ilmiah. Jadi, benda yang dijadikan jimat tidak harus yang bernuansa mistis dan ngeri, namun sebuah gelas dapat menjadi jimat jika diyakini menjadi sebab dapat menyembuhkan penyakit. Contoh jimat yang tersebar meluas di Indonesia antara lain: jimat penglaris, rajah, susuk, dan lain-lain.
Dalil Umum Pelarangan Jimat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna adalah syirik” (HR. Abu Dawud, shahih). Dalam hadits ini secara tegas Rasul  menyebut jimat dengan kemusyrikan. Dalam hadits lain Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka sungguh dia telah berbuat  kemusyrikan” (HR. Ahmad, shahih).
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah.” Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku.” Kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Az-Zumar : 38). Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa berhala yang disembah oleh kaum musyrikin diyakini oleh mereka sebagai sebab untuk mendatangkan manfaat dan menghilangkan kesulitan. Akan tetapi berhala-berhala tersebut bukanlah sebab yang boleh dimanfaatkan menurut syari’at, dan juga mereka tidak mampu untuk memenuhi sedikit pun perkara yang diminta. Begitu pula orang yang menggunakan jimat, mereka menjadikannya sebab yang tidak dibolehkan oleh syari’at.
Macam dan Hukum Jimat
Jimat dibagi menjadi dua macam, yaitu jimat yang berasal dari Al-Qur’an atau do’a-do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jimat yang bukan berasal dari keduanya. Adapun hukum jimat yang bukan berasal dari Al-Qur’an atau do’a Nabi, maka termasuk ke dalam kemusyrikan. Tergolong ke dalam syrik kecil jika seseorang meyakini jimat tersebut hanya sebagai sebab/sarana, namun tetap meyakini hanya Allah yang maha kuasa untuk menghilangkan bahaya dan mendatangkan manfaat. Dapat termasuk ke dalam syirik besar (yang mengeluarkan dari Islam) jika meyakini jimat tersebutlah dengan sendirinya yang mendatangkan manfaat dan menghilangkan kesusahan tanpa meyakini adanya kekuasaan Allah dalam memberikan pengaruh dari sebab yang diambil (Majmu’ Fatawa Wa Rasail karya Syaikh Utsaimin).
Sedangkan jimat yang berasal dari Al-Qur’an, maka terdapat perselisihan diantara para ulama apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak. Alasan diperbolehkannya karena Al-Qur’an bukan termasuk makhluk melainkan Kalamullah. Namun yang lebih tepat adalah pendapat yang melarang penggunaan Al-Qur’an sebagai jimat. Hal tersebut didasarkan atas beberapa alasan: (1) Keumuman dalil pelarangan jimat dan tidak ada dalil lain yang mengkhususkan bolehnya hal tersebut; (2) Dapat menyebabkan penghinaan terhadap Al-Qur’an karena dibawa ke tempat najis dan kotor; (3) Demi menutup jalan-jalan kemusyrikan, yaitu perbuatan menggantungkan selain Al-Qur‘an sebagai jimat; (4) Tidak adanya dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang membolehkan hal tersebut (Haasyiatu Kitabi at-Tauhid karya Syaikh Abdurrahman bin Qaasim). Jadi kesimpulannya seluruh bentuk jimat adalah terlarang dalam syari’at Islam, baik yang berasal dari Al-Qur’an atau selain Al-Qur’an.
Jimat bukan sarana yang diizinkan syari’at
Pembahasan mengenai jimat sangat erat kaitannya dengan pembahasan kaidah pengambilan sebab. Karena orang-orang yang menggunakan jimat, mereka menjadikannya sebagai sebab agar tercapai keinginannya. Padahal tidak sembarang sebab boleh ditempuh menurut syari’at. Kesalahan dalam pengambilan sebab dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kemusyrikan. Terdapat tiga kaidah yang harus dipahami dalam mengambil sebab (At-Tauhid Al-Muyassar karya ‘Abdullah Al-Huwaili) :
1. Sebab yang diambil harus terbukti secara syar’i atau qodari
Suatu sebab terbukti secara syar’i berarti terdapat dalil yang shahih, baik dari Al-Qur’an maupun hadits, yang menunjukkan bolehnya pengambilan sebab tersebut. Walaupun secara akal, hal tersebut belum terjangkau. Contohnya adalah cara menangkal racun pada bejana yang terjatuhi lalat yaitu dengan mencelupkan seluruh badannya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila lalat jatuh di bejana salah satu diantara kalian maka celupkanlah karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya terdapat obat penawarnya” (HR. Bukhari). Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa mencelupkan tubuh lalat yang masuk ke dalam bejana berisi cairan merupakan sebab yang diizinkan secara syar’i karena berdasarkan hadits yang shahih.
Sedangkan suatu sebab dapat terbukti secara Qodari berarti sebab tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah dan akal dapat menjangkaunya. Atau dengan kata lain, sebab dan akibat yang ditimbulkan memiliki hubungan rasional. Seperti orang yang lapar, akan mengambil sebab makan sehingga ia dapat kenyang, atau orang yang ingin pergi ke masjid untuk sholat berjamaah, maka ia berjalan kaki dari tempat tinggalnya.
2. Tidak boleh bersandar kepada sebab
Setelah sebab yang diambil terbukti secara syar’i atau Qodari, maka selanjutnya kita tidak boleh bersandar kepada sebab yang telah diambil. Karena hal ini menunjukkan sifat kurangnya tawakal kepada Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Kuasa yang dapat menciptakan segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) “Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal” (QS. At-Taubah : 51).
3. Meyakini bahwa sebab hanya dapat berpengaruh dengan izin dari Allah dan tidak dengan sendirinya
Seorang Muslim harus meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, hanya dapat terjadi atas izin dari Allah Ta’ala. Begitu pula berpengaruhnya sebab, hanya dapat terjadi dengan izin dari Allah Ta’ala. Misalnya seorang pasien yang berobat ke dokter, kemudian dokter memberikan obat tertentu. Setelah obat tersebut diminum, penyakit yang dialami si pasien menjadi sembuh. Maka sesungguhnya yang memberikan kesembuhan adalah Allah Ta’ala, bukan dokter atau obat. Dokter dan obat hanya sebagaisebab kesembuhan pasien tersebut. Maka seorang muslim harus memiliki keyakinan seperti ini, terhadap seluruh sebab yang dia ambil.
Seseorang yang menggunakan jimat, berarti ia telah melanggar kaidah yang pertama, karena jimat merupakan sebab yang tidak diizinkan baik secara syar’i maupun qodari. Bahkan sebagian dari mereka (pengguna jimat) melanggar kaidah kedua dan ketiga. Mereka setelah menggunakan jimat, kemudian bersandar kepada jimat tersebut. Seolah-olah dengan tidak adanya jimat maka musibah akan melanda mereka. Yang lebih disayangkan lagi sebagian orang yang meyakini bahwa jimat tersebut dengan sendirinya dapat menolak bahaya. Keyakinan seperti itu adalah keyakinan yang harus dihindari, karena bertentangan dengan tauhid kepada Allah Ta’ala serta dapat mengeluarkan seseorang dari Islam.
Pembagian bentuk penyandaran kepada selain Allah Ta’ala
Manusia dalam menyandarkan dirinya kepada sebab, dibagi menjadi tiga macam (Al-Qoulul Mufid ‘ala Kitabi at-Tauhid, karya Syaikh Utsaimin).
Pertama, yang meniadakan tauhid dari pokoknya. Yaitu jika seseorang bergantung kepada sebab yang tidak mungkin dapat memberikan pengaruh sedikit pun, serta ia menyandarkan dirinya dengan penyandaran yang sempurna. Contohnya adalah orang yang meminta kepada kuburan wali untuk dihilangkan kesusahannya, kemudian ia menyandarkan diri kepada kuburan tersebut dan meyakini kuburan tersebut yang akan menghilangkan kesulitannya. Orang ini telah terjatuh pada perbuatan syirik akbar yang mengeluarkan dari Islam. Karena kuburan tidak memiliki pengaruh sedikitpun (tidak berkuasa) untuk menghilangkan kesulitan.
Begitu pula, jika sebab yang diambil termasuk ke dalam perbuatan syirik akbar, maka ia akan terjatuh dalam syirik akbar karena sebab yang diambil. Walaupun ia berkeyakinan Allah lah yang memberikan pengaruh dari sebab yang diambil. Sebagaimana kaum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’alaberfirman (yang artinya) “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar :3). Ayat ini menunjukkan bahwa keyakinan orang-orang musyrikin dalam menyembah berhala adalah untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah, tidak meyakini berhala tersebut yang dapat menghilangkan kesusahan mereka. Namun keyakinan mereka berupa mengesakan Allah dalam Rububiyyah (perbuatan-perbuatan Allah), tidak cukup untuk memasukkan mereka ke dalam Islam, tapi mereka harus mengesakan Allah pula dalam hal ibadah. Mereka termasuk orang musyrik karena mengambil sebab dengan perbuatan kemusyrikan.
Kedua, yang meniadakan kesempurnaan tauhid. Yaitu jika seseorang bergantung kepada sebab yang diizinkan syari’at dengan tidak mengingkari bahwa Allah yang memberikan pengaruh terhadap sebab tersebut. Contohnya adalah orang yang sakit kemudian berobat kepada dokter. Namun ia menyandarkan kesembuhan dirinya kepada dokter bukan kepada Allah, walaupun ia tidak mengingkari bahwa Allah-lah yang memberikan kesembuhan kepadanya. Maka orang tersebut telah terjatuh pada syirik kecil karena bersandar kepada sebab, bukan kepada yang menciptakan sebab, yaitu Allah Ta’ala.
Ketiga, yang tidak meniadakan tauhid sedikit pun. Yaitu seseorang mengambil suatu sebab yang diizinkan syari’at, dengan menyandarkan pengaruh sebab tersebut kepada Allah. Ia meyakini bahwa sebab berasal dari Allah dan hanya dapat berpengaruh atas kehendak-Nya. Jenis yang ketiga inilah yang seharusnya diamalkan oleh setiap mukmin yang bertauhid kepada Allah Ta’ala. Karena sikap seperti inilah yang menunjukkan adanya tawakal pada diri seseorang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Andaikan kalian tawakal kepada Allah dengan sebenarnya, niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi hari dengan perut kosong dan pulang sore hari dengan perut kenyang” (HR.  Tirmidzi, Hasan shahih).
Terakhir, marilah kita berdo’a kepada Allah untuk dijauhkan dari pengaruh jimat dan juga bentuk kemusyrikan yang lain. Serta memohon hidayah kepada Allah untuk dicukupkan hati ini dengan syari’at Allah Ta’ala sehingga tidak merasa butuh dengan sesuatupun di luar syari’at Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Barangsiapa yang (menjadikan) akhirat tujuan utamanya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)“ (HR. Ibnu Majah, shahih)
[Ndaru Triutomo*]
*Penulis adalah alumni Ma’had al-‘Ilmi, staf pengajar Ma’had Umar Bin Khattab, aktif mengelola MTI-Cyber, dan sedang menyelesaikan studi di Fakultas Biologi UGM
muslim.or.id